Penghitungan Pajak Warga Negara Asing di Indonesia

Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak luar negeri menanamkan modalnya di dalam negeri.

an image

 

Ketika beroperasi di Indonesia, seringkali perusahaan multinasional (multinational company) atau penanaman modal asing kesulitan dalam melakukan pelaporan pajak.

 

Tentu saja, pajak tersebut tidak hanya berupa pajak badan, tetapi juga pajak pribadi untuk pekerja warga negara asing (WNA). Untuk itu, kami telah merangkum artikel mengenai pembahasan perhitungan pajak bagi warga negara asing di Indonesia.

Baca Juga:
Penghitungan dan Status Pajak bagi Pasangan Suami-Istri Bekerja
Jasa Travel Haji dan Umroh Kini Kena PPN, Simak Ketentuannya dalam PMK Nomor 71 Tahun 2022
Pajak Penghasilan PPh Pasal 21: Definisi, Dasar Hukum, Tarif, dan Waktu Penyetoran Serta Pelaporan Pajak
Panduan Lengkap Pajak Penghasilan PPh Pasal 22

 

Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang.

 

Baca Juga:
Tarif dan Mekanisme Pemungutan Pajak Digital di Indonesia
Upaya Minimalkan Pajak Secara Legal Dengan Tax Planning
Tax Planning Untuk Bisnis, Upaya Minimalkan Pajak Secara Legal
Apa itu Restitusi Pajak: Pengertian, Dasar Hukum, Tata Cara, dan Jangka Waktu Pengembalian

 

Dalam Undang-Undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

 

Baca Juga : Pedoman Norma Penghitungan Penghasilan Neto

 

Wajib Pajak Luar Negeri Warga Negara Asing

Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap.

 

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.

 

Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.

 

Menurut Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 dengan pembaharuan Undang-Undang nomor 36 tahun 2008, pada Pasal 26 dijelaskan atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

 

 

a. dividen;

b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;

c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

e. hadiah dan penghargaan;

f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;

g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau

h. keuntungan karena pembebasan utang.

 

Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.

 

Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 

Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).

 

 

Contoh:

A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2009.

 

Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri.

 

Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009.

 

Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.

 

Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

 

Jika dilihat dari contoh kasus diatas, terjadi perubahan status antara periode awal dari Wajib Pajak Luar Negeri menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri pada periode akhir.

 

Hal tersebut terjadi dikarenakan aturan yang mengatur bahwa Wajib Pajak Luar Negeri merupakan Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.

 

Namun, hal tersebut berubah lantaran perpanjangan kontrak melebihi 183 hari yang menyebabkan A dianggap sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri sehingga penghitungan yang digunakan awalnya menggunakan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan potongan pajak final senilai 20%, tetapi menggunakan Pajak Penghasilan Pasal 21.

 

Namun, terdapat keadaan Wajib Pajak Luar Negeri dapat mengikut ketentuan Tax Treaty yang ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat sumber penghasilan berasal) dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal atau menetap).

 

Ketentuan Pajak Penghasilan 21 ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.

 

 

Pihak yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah pemberi kerja, bendahara pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.

 

Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah orang pribadi atau badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan.

 

Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.

 

Yang dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah pembayaran dengan nama apa pun selain gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain, seperti bonus, gratifikasi, tantiem.

 

Yang dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.

 

Baca Juga : Perubahan Tarif dan Bracket PPh WP Pribadi Draft RUU KUP

 

Kriteria lebih lanjut untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang wajib dikenakan pajak orang asing (PPh 21) adalah bertempat tinggal di Indonesia, berniat untuk tinggal di Indonesia yang ditunjukkan dengan visa kerja atau KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) serta menyetujui untuk memperpanjang kontrak perjanjian selama lebih dari 183 hari.

 

Selain itu, kriteria lainnya adalah Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dibayarkan melalui BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia dan penghasilannya sudah melampaui Penghasilan Tidak Kena Pajak, yaitu Rp54.000.000.

 

< All Blog

Butuh bantuan?

Berbagai Jasa Profesional Pajak, Akuntansi, Audit, dan Keuangan dari Ahli yang Berpengalaman di Konsultanku.

Lihat Solusi