Setiap orang pribadi yang menerima penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya, wajib dipotong pajak oleh pemberi imbalan. Pajak yang dimaksud merupakan Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh 21. Pengertian PPh 21 tersebut berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015.
Simak penjelasan Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 berikut sebelum kita bahas lebih dalam.
Baca Juga:
Penghitungan dan Status Pajak bagi Pasangan Suami-Istri Bekerja
Jasa Travel Haji dan Umroh Kini Kena PPN, Simak Ketentuannya dalam PMK Nomor 71 Tahun 2022
Panduan Lengkap Pajak Penghasilan PPh Pasal 22
Perbedaan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan
PPh 21 adalah pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang wajib dilakukan oleh:
A. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
Baca Juga:
Tarif dan Mekanisme Pemungutan Pajak Digital di Indonesia
Upaya Minimalkan Pajak Secara Legal Dengan Tax Planning
Tax Planning Untuk Bisnis, Upaya Minimalkan Pajak Secara Legal
Apa itu Restitusi Pajak: Pengertian, Dasar Hukum, Tata Cara, dan Jangka Waktu Pengembalian
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apa pun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan.
Pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak. Yang dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah pembayaran dengan nama apa pun selain gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain, seperti bonus, gratifikasi, dan tantiem.
Yang dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional.
B. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Bendahara pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Yang termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.
C. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun.
Yang termasuk “badan lain”, misalnya, adalah badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apa pun.
Yang termasuk dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain adalah tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, dan penerima tabungan hari tua.
Baca Juga : Tarif Lapisan Pajak Penghasilan RUU Harmonisasi Perpajakan
D. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
Yang termasuk dalam pengertian badan adalah organisasi internasional yang tidak dikecualikan. Yang termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah dokter, pengacara, dan akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.
E. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara kegiatan termasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan, misalnya kegiatan olahraga, keagamaan, dan kesenian.
Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.
Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak dikenai pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, dengan memerhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku.
Peraturan terkait dengan PPh Pasal 21 yaitu:
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 tentang Pajak Penghasilan
Peraturan Pemerintah No. 68/2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.010/2016 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Menimbang Pajak Penghasilan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Bagi Instansi Pemerintah
Baca Juga : Pengertian Penghasilan Kena Pajak (PKP) dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Subjek pajak atas PPh 21 adalah pegawai, penerima uang pesangon, pensiun, tunjangan hari tua, jaminan hari tua, ahli waris, dan wajib pajak kategori bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa.
Objek PPh 21 secara umum adalah penghasilan yang diterima. Tetapi, tidak semua objek penghasilan dikenakan PPh 21. Penghasilan yang dikenakan PPh 21, antara lain:
Penghasilan yang diterima pegawai tetap, baik penghasilan yang teratur maupun tidak teratur.
Uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
Uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan pembayaran sejenisnya.
Penghasilan tenaga kerja lepas, seperti upah harian/mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
Imbalan kepada bukan pegawai, berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan bentuk apapun sebagai imbalan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
Imbalan peserta kegiatan, berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
Sementara penghasilan yang tidak dikenakan PPh 21, antara lain:
Santunan asuransi dari perusahaan asuransi
Penerimaan dalam bentuk natura/kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan oleh wajib pajak atau pemerintah, termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja dan pemerintah.
Zakat yang diterima dari Badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah dan sumbangan keagamaan.
Beasiswa
Perhitungan tarif pajak pribadi menggunakan tarif progresif sesuai undang-undang PPh Pasal 17. Mengenai tarif lapisan penghasilan kena pajak, rencananya pemerintah akan menaikan serta menambah tarif lapisan tersebut yang tertuang pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan di sidang paripurna DPR pada 7 Oktober 2021.
Tarif Lama (UU Pajak Penghasilan) | Tarif Baru (UU HPP) | ||
Penghasilan 0 - Rp 50 juta | 5% | Penghasilan 0 - Rp 60 juta | 5% |
Penghasilan Rp 50 juta - Rp 250 juta | 15% | Penghasilan Rp 60 juta - Rp 250 juta | 15% |
Penghasilan Rp 250 juta - Rp 500 juta | 25% | Penghasilan Rp 250 juta - Rp 500 juta | 25% |
Penghasilan di atas Rp 500 juta | 30% | Penghasilan Rp 500 juta - Rp 5 miliar | 30% |
Penghasilan di atas Rp 5 miliar | 35% |
Baca Juga : Pengertian Lengkap Pajak Penghasilan PPh Pasal 17
Besarnya tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu NPWP.
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp75.000.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:
5% x Rp60.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
15% x Rp15.000.000,00 = Rp 2.250.000,00 (+)
Jumlah Rp 5.250.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah:
5% x 120% x Rp 60.000.000,00 = Rp 3.600.000,00
15% x 120% x Rp 15.000.000,00 = Rp 2.700.000,00 (+)
Jumlah Rp 6.300.000,00
Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dikenakan PKP sebesar penghasilan Neto dikurangi PTKP terbaru.
Pegawai tidak tetap dikenakan PKP sebesar penghasilan Bruto dikurangi PTKP terbaru.
Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa dikenakan 50% atas PKP dari jumlah penghasilan Bruto dikurangi PTKP dalam satu bulan.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan besaran dari penghasilan yang tidak dikenakan, artinya seseorang tidak perlu membayar pajak apabila gaji bulanan tidak mencapai ketentuan PTKP. Meski sudah diringankan bebannya, orang tersebut tetap wajib melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT).
Pada ketentuan tarif PTKP 2019 yang disusun dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 101/ PMK.010/2016. Sedangkan untuk perhitungan lebih detail ada di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016. Untuk ketentuan PTKP bagi pegawai diatur dalam PMK No. 102/PMK.010/2016 yang belum berubah hingga
Baca Juga : Penghitungan dan Status Pajak bagi Pasangan Suami-Istri Bekerja
Ketentuan PTKP yang sampai saat ini dijalankan yaitu sebagai berikut:
Wajib pajak pribadi berstatus tanpa tanggungan sebesar Rp. 54.000.000
Penghasilan istri ditambah dengan penghasilan suami sebesar Rp. 54. 000.000
Wajib pajak pribadi dengan status kawin mendapat tambahan sebesar Rp. 4.500.00
Setiap anggota keluarga sedarah yang menjadi tanggungan (maksimal 3 tanggungan) mendapat tambahan sebesar Rp. 4.500.000
Dalam Penghasilan Tidak Kena Pajak, tidak hanya tarif namun status PTKP juga penting untuk dipahami. Status tersebut ditulis menggunakan kode-kode. Penjelasan mengenai sejumlah kode PTKP diuraikan sebagai berikut.
Status Lajang
TK/0 artinya seorang yang belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan
TK/1 artinya seorang yang belum menikah namun memiliki satu tanggungan
TK/2 artinya seorang yang belum menikah dan mempunyai dua tanggungan
TK/3 artinya seorang yang belum menikah dan memiliki tiga tanggungan
Status Kawin
TK/0 artinya telah menikah dan tidak mempunyai tanggungan
K/1 artinya telah menikah dan memiliki satu tanggungan
K/2 artinya telah menikah dan memiliki dua tanggungan
K/3 artinya telah menikah dan memiliki tanggungan
Status PTKP Digabung
K/1/0 artinya penghasilan suami dan istri digabung dan tidak mempunyai tanggungan
K/1/1 artinya penghasilan suami dan istri digabung serta memiliki satu tanggungan
K/1/2 artinya penghasilan suami dan istri digabung serta memiliki dua tanggungan
K/1/3 artinya penghasilan suami dan istri digabung serta memiliki tiga tanggungan
Salah satu hal yang penting diketahui dalam melaksanakan kewajiban adalah pengetahuan akan tanggal-tanggal penting pajak, seperti tanggal batas penyetoran dan batas pelaporan pajak tiap bulannya.
Pajak yang terutang harus disetorkan tepat waktu sesuai ketentuan yang berlaku. Jika terlambat menyetorkannya, bisa-bisa Anda dikenakan sanksi. Batas waktu penyetoran PPh 21 merupakan tanggal 10 setiap bulannya.
Setelah menyetor kewajiban pajak Anda, hal yang harus dilakukan berikutnya adalah melapor pajak. Keterlambatan dalam pelaporan pajak pun dapat membuat Anda terkena sanksi. Batas waktu pelaporan PPh 21 merupakan tanggal 20 setiap bulannya.
Berbagai Jasa Profesional Pajak, Akuntansi, Audit, dan Keuangan dari Ahli yang Berpengalaman di Konsultanku.
Lihat Solusi