Belakangan ini, kabar mengenai kondisi ekonomi Britania Raya kerap menghiasi headline berita. Kabarnya, “Land of Hope and Glory” tersebut tengah berada di jurang resesi. Sebetulnya, apa yang membuat Britania jatuh ke dalam kondisi tersebut? Apakah hal ini berhubungan dengan keputusan Brexit?
Britania Raya— secara cepat— memasuki kondisi perekonomian terlemahnya sejak 1970 silam. Pada Agustus 2022, inflasi Inggris bahkan mencapai angka 9,9% secara year-on-year (yoy). Kondisi ini terjadi karena harga pangan yang terus melonjak.
Untuk inflasi inti (yang tidak termasuk energi yang mudah menguap, makanan, alkohol, dan tembakau) naik 0,8% secara bulan ke bulan dan 6,3% secara yoy.
Baca Juga:
Perusahaan Tidak Membayar Gaji Karyawan Boleh Dilaporkan ke Disnaker, Bagaimana Caranya?
Apa Itu PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan)
Cara Membuat Buku Besar Perusahaan Dagang, Lengkap dengan Contoh
Jenis-jenis Laporan Keuangan
Brexit adalah akronim dari kata “British” dan “Exit” yang merujuk pada keputusan Inggris dalam referendum 23 Juni 2016 untuk meninggalkan Uni Eropa (UE). Brexit terjadi pada 31 Januari 2020 pukul 11 malam (Greenwich Mean Time).
Keputusan final untuk meninggalkan Uni Eropa ditentukan melalui voting dalam referendum yang melibatkan negara-negara anggota U.K., yakni Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara. Dilansir dari BBC News, vote tersebut menghasilkan persentase dengan mayoritas 51.9% orang mendukung Inggris untuk meninggalkan European Union, sedangkan 48.1% sisanya tidak mendukung Brexit.
Baca Juga:
Hi sahabat Konsultanku, KonsultanKu
Pentingkah Laporan Keuangan untuk UKM?
Tips Siapkan Dana Darurat
Liburan Asik dengan Budget Terjangkau
Ada sejumlah alasan mengapa Inggris memilih untuk meninggalkan Uni Eropa. Beberapa diantaranya berkaitan dengan imigrasi dan ekonomi.
Masalah lainnya yang membuat U.K. mantap mengambil jalan Brexit disebabkan persoalan kurangnya penyerapan tenaga kerja dari Inggris karena perusahaan yang lebih banyak menyerap tenaga kerja asal negara UE di luar Inggris.
Penerapan Brexit ternyata mengguncang pasar global dan menyebabkan nilai poundsterling terhadap dolar jatuh ke level terendah dalam 30 tahun. Pasalnya, selang sehari setelah voting Brexit, pasar mata uang berada dalam kekacauan. Euro turun 2% menjadi $1.11 dan poundsterling turun sebanyak 8% menjadi $1.36.
Meski keduanya membuat nilai dolar meningkat, tetapi hal tersebut justru menimbulkan efek yang kurang menguntungkan untuk pasar saham AS. Sebab, saham Amerika jadi lebih mahal bagi investor asing.
Poundsterling yang melemah juga membuat ekspor AS ke Inggris lebih mahal, meskipun itu tidak memperlambat ekspor. Pada 2019, ekspor AS ke Inggris mencapai $147,4 miliar, naik dari $141 miliar pada 2018. Itu menciptakan surplus perdagangan $21,8 miliar. Sedangkan impor hanya 125,6 miliar dolar AS.
Sementara itu, untuk industri tertentu, tarif eksternal UE akan sangat terpukul. Salah satunya industri otomotif. Hal ini disebabkan Inggris yang mengekspor 58% mobil ke Eropa. Uni Eropa mengenakan tarif 10% untuk mobil impor. Monique Ebell dari NIESR memperkirakan bahwa meninggalkan pasar tunggal UE akan mengurangi perdagangan barang dan jasa Inggris secara keseluruhan—tidak hanya dengan UE—sebesar 22–30%.
Riset pasar yang dirilis pada 11 Oktober 2022 lalu menunjukkan bahwa inflasi bahan makanan di Inggris mencapai rekor baru, yakni sebesar 13,9 persen per September. Perolehan angka ini dapat dilihat dari lonjakan biaya hidup dari berbagai sektor ekonomi.
Inflasi mulai meningkat di Inggris pada pertengahan 2021 akibat penyumbatan rantai pasokan dan perubahan aturan perdagangan pasca-Brexit, diikuti oleh kenaikan harga energi.
Akibatnya, kini energi gas jadi salah satu sektor yang jadi pusat perhatian adalah harga gas. Pasalnya, harga bahan bakar gas di Inggris mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini tentu merupakan kabar buruk di tengah musim dingin yang membuat warga Inggris membutuhkan pemanas.
Pemerintah Inggris sudah berkomitmen menggelontorkan sekitar 60 miliar pound atau sekitar Rp1 kuadriliun untuk subsidi tagihan energi bagi rumah tangga dan sektor bisnis yang membutuhkan gas selama enam bulan ke depan. Meskipun demikian, rata-rata warga Inggris masih membayar dua kali lipat tiap bulannya untuk pemanas dan penerangan dibandingkan tahun lalu.
Sembilan dari 10 orang yang disurvei oleh Barclaycard di Inggris dari 23-26 September mengatakan mereka khawatir dengan tagihan energi rumah tangga.
Jaringan department store John Lewis mencatat bahwa permintaan selimut dan selimut listrik mengalami tren naik sebesar 8 persen. Di samping itu, penjualan lilin ikut naik sebesar 9 persen. Menurutnya, orang Inggris membeli lebih banyak pakaian dalam termal, sarung tangan, dan gaun ganti agar tetap hangat di rumah tanpa menyalakan termostat karena mahalnya harga gas.
Akhir kata, meskipun tengah menghadapi krisis, semoga Inggris tetap memiliki semangat hope and glory sesuai dengan julukan negaranya sendiri: Land of Hope and Glory!
Berbagai Jasa Profesional Pajak, Akuntansi, Audit, dan Keuangan dari Ahli yang Berpengalaman di Konsultanku.
Lihat Solusi