Meneliti Lebih dalam PPN Sembako, Setuju kah?

Pemerintah berdasarkan Draf Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), berencana untuk menghapus sejumlah barang yang tidak dikenai PPN menjadi barang yang dikenai PPN. Diantara beberapa barang tersebut, terdapat poin barang kebutuhan pokok atau yang kita kenal dengan istilah sembako. Oleh sebab itu, kita perlu mengkaji lebih dalam mengenai PPN Sembako. Apakah sudah saatnya Indonesia menerapkan PPN pada sembako? Apakah tarif pajaknya cukup besar sehingga memberatkan masyarakat? Simak materi kita selengkapnya!

an image

 

 

PPN Sembako

Menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pasal 4A Ayat 2 menyatakan:

Baca Juga:
Penghitungan dan Status Pajak bagi Pasangan Suami-Istri Bekerja
Jasa Travel Haji dan Umroh Kini Kena PPN, Simak Ketentuannya dalam PMK Nomor 71 Tahun 2022
Pajak Penghasilan PPh Pasal 21: Definisi, Dasar Hukum, Tarif, dan Waktu Penyetoran Serta Pelaporan Pajak
Panduan Lengkap Pajak Penghasilan PPh Pasal 22

 

Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

 

  1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;

    Baca Juga:
    Tarif dan Mekanisme Pemungutan Pajak Digital di Indonesia
    Upaya Minimalkan Pajak Secara Legal Dengan Tax Planning
    Tax Planning Untuk Bisnis, Upaya Minimalkan Pajak Secara Legal
    Apa itu Restitusi Pajak: Pengertian, Dasar Hukum, Tata Cara, dan Jangka Waktu Pengembalian

  2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

  3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan

  4. uang, emas batangan, dan surat berharga.

 

Baca Juga : Ternyata Hadiah, Hibah, dan Warisan Dapat Dikenakan Pajak

 

Dalam draf RUU KUP, pasal 4A berganti menjadi:

 

Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yakni barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

 

  1. dihapus;

  2. dihapus;

  3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah; dan

  4. uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.

 

Menilik UU Nomor 42 Tahun 2009 dan RUU KUP di atas, daftar 13 bahan pokok yang bakal dikenakan PPN adalah:

 

  1. beras dan gabah;

  2. jagung;

  3. sagu;

  4. kedelai;

  5. garam konsumsi, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;

  6. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;

  7. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;

  8. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;

  9. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;

  10. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah;

  11. ubi-ubian;

  12. bumbu-bumbuan; dan

  13. gula konsumsi

 

Baca Juga : Jenis Objek Wajib Pajak Pribadi Lengkap Dengan Cara Melaporkannya

 

 

Saat ini, Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009.

 

Sembako atau jenis-jenis kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tak dikenakan PPN itu sendiri sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017. Melalui beleid RUU KUP pasal 7 ayat 1, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 12%.

 

Adapun skema pajak yang menjadi acuan pemerintah untuk sembako adalah skema multi tarif PPN, yaitu pengenaan pajak yang lebih rendah untuk barang-barang yang banyak dibutuhkan masyarakat dan pengenaan tarif lebih tinggi untuk barang mewah yang biasa dibeli kelas menengah atas. Untuk PPN multi tarif tertuang dalam pasal 7A ayat 2 yang menuliskan bahwa dalam skema ini paling rendah dikenakan sebesar 5% dan paling tinggi 25%. Tarif tertinggi ini akan dikenakan untuk barang super mewah dan tarif 5% untuk barang kebutuhan pokok atau sembako.

 

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, Untuk kebutuhan pokok seperti beras dan minyak bisa dikenakan PPN hanya 1%. PPN final 1% sudah berlaku atas barang hasil pertanian tertentu. Tarif PPN 1% merupakan besaran tarif pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang disematkan kepada beberapa jenis transaksi yang menggunakan nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Pengaturan perihal besaran tarif 1% ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 75/PMK.03/2010 tentang perhitungan nilai PPN.

 

Baca Juga : Pelajari Yuk, PPN Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)

 

Di Indonesia, sektor pertanian dibagi atas:

 

  • Sektor Perkebunan Besar Baik Milik Swasta maupun Milik Negara

Fokus untuk memproduksi komoditas ekspor seperti karet dan minyak sawit

 

  • Produksi Petani Kecil

Fokus untuk memproduksi bahan pangan seperti beras,jagung, buah dan sayuran.

 

Saat ini, pemungutan PPN atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu dari kelompok petani (PKP) kepada industri dipungut bukan oleh PKP dikenakan tarif sebesar 1%. Tarif efektif PPN 1% dikenakan karena dasar pengenaan pajak dari penyerahan barang hasil pertanian tertentu menggunakan DPP nilai lain yaitu 10% dari harga jual.

 

Badan usaha industri yang membeli dari petani ditunjuk sebagai pemungut PPN 1% dan tetap dapat mengkreditkan PPN bersangkutan sebagai pajak masukan. Ketentuan mengenai nilai lain ini diatur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan No.89/2020 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu yang diundangkan pada 27 Juli 2020.

 

Baca Juga : Pemberian Insentif Pajak Untuk 2022, Ini Penjelasannya

 

Berikut jenis hasil pertanian yang dapat dikenakan DPP Pajak Pertambahan Nilai nilai lain 1% :

 

  1. Produk pertanian seperti hortikultura yang terdiri dari:

  • BKP (tanaman hias dan obat).

  • Non Barang Kena Pajak (BKP), kebutuhan pokok (buah-buahan, sayur-sayuran).

  • Non BKP (tanaman pangan seperti padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu, beras dan gabah).

 

  1. Produk perkebunan (BKP)

Semua produk perkebunan yang dapat dikenakan DPP PPN 1% masuk dalam kategori Barang Kena Pajak. Beberapa produk tersebut di antaranya kopi, aren, kakao, jambu mete, lada, pala, cengkeh, teh, tembakau, karet, kapas, kapuk, kayu manis, kina, vanili, nilam, sereh, atsiri,dan kelapa.

 

Menurut CNN Indonesia, wacana pungutan PPN sembako muncul di tengah rendahnya ranking Indonesia terkait ketahanan pangan atau food security. Salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam ranking tersebut terkait harga atau keterjangkauan.

 

Baca Juga : Pelajari Yuk, Barang Kena Pajak dan Barang Tidak Kena Pajak

 

 

Menurut Global Food Security Index pada 2020, Indonesia menempati posisi ke 65 dunia dengan skor keterjangkauan makanan di posisi ke 55 dunia. Indonesia berada di bawah jiran, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, hingga Vietnam.

 

Rencana yang masuk dalam reformasi sistem perpajakan Indonesia ini mendapat penolakan dari berbagai kalangan, dari ekonomi, pengusaha, hingga ibu-ibu kompak tidak setuju sembako dikenakan PPN.

 

Sejumlah yang negara sudah mengenakan pungutan PPN. Berikut ulasannya.

 

  • Australia

 

Di Negeri Kanguru, PPN atau Goods and Service Tax (GST) memang berlaku. Tapi, itu dikecualikan untuk makanan esensial warga Australia. Melansir Australian Tax Office (ATO), pemerintah Australia tidak menarik GST untuk makanan pokok seperti roti, tepung, susu, telur, keju, dan susu.

 

Warga Australia juga dibebaskan GST untuk makanan konsumsi dasar dan bernutrisi tinggi, seperti buah-buahan, makanan bayi, roti dan teh, seluruh jenis daging untuk konsumsi manusia, sereal, hingga ikan.

 

Pengecualian pajak untuk makanan dasar diberlakukan guna memastikan masyarakat mendapat makanan bernutrisi yang murah. Sehingga gizi warganya dapat dijaga. Namun, GST dikenakan untuk makanan jadi yang dihidangkan di restoran baik untuk makan di tempat atau take away.

 

  • India

 

India merupakan salah satu negara yang memberlakukan PPN multi tarif. Melansir CNN Indonesia, pemerintah India memberlakukan PPN tertinggi 28 persen untuk produk makanan. Tarif tertinggi berlaku untuk makanan, cokelat yang terdaftar sebagai produk. Tarif itu sama dengan yang dikenakan untuk produk otomotif dan konstruksi.

 

Untuk makanan restoran yang berlisensi seperti alkohol, sayur beku, dan makanan olahan yang tidak sehat, PPN yang dikenakan 18 persen. Untuk bahan pokok berupa produk buah beku, daging beku, dan produk makanan yang tidak mendapat subsidi lainnya, tarif PPN yang dikenakan 12 persen.

 

Sedangkan untuk gula, teh, kopi, minyak makan, dan obat-obatan, PPN yang dikenakan 5 persen. Untuk mayoritas makanan dasar seperti daging, ikan, produk susu, sayur segar, roti, garam, dan lainnya dibebaskan PPN-nya.

 

Baca Juga : Pensiun Dini Karyawan Garuda dan Pajak Penghasilan atas Pesangon

 

 

  • Uni Eropa

 

Melansir Gulf Business, negara di Eropa umumnya mengenakan Value Added Tax (VAT) dengan berbagai nilai bervariasi. Meski menetapkan tarif PPN berbeda-beda, namun negara-negara Uni Eropa mengikuti prinsip bersama.

 

VAT standar berkisar di angka 20-25 persen untuk negara-negara Uni Eropa. Untuk produk pokok, biasanya pemberlakuan VAT dikecualikan atau disubsidi (reduced). Subsidi diberikan bervariasi sesuai dengan kategori produk dan tempat pembelian, subsidi diberikan dari belasan persen hingga hanya satu digit saja.

 

Mengambil contoh Irlandia, produk makanan pokok seperti mentega, roti, dan gula tidak dikenakan VAT. Namun, roti beku dikenakan VAT 13,5 persen. Bila roti beku dibeli di toko eceran, VAT tidak dikenakan. Contoh lainnya jus dijual dengan VAT 23 persen. Namun bila jus dibeli dengan makanan, VAT di diskon menjadi 13,5 persen saja.

 

Uni Eropa memiliki daftar panjang terkait pengenaan VAT untuk setiap produk makanannya. Namun aturan mainnya relatif umum. Semakin banyak dibutuhkan oleh masyarakat, maka semakin kecil pula VAT yang dikenakan.

 

  • Kanada

 

Mengutip CNN Indonesia, Kanada mengenal pengecualian PPN untuk barang kebutuhan dasar atau zero-rated supplies. Tak hanya sembako, kebutuhan dasar diperluas hingga ke pembalut dan produk sanitasi lainnya. Obat-obatan terkecuali ganja juga mendapat pengecualian PPN.

 

Produk peternakan dari susu hingga daging juga gratis PPN. Lalu, untuk produk ikan terkecuali umpan binatang tidak dikenakan PPN. Meski termasuk dalam negara yang toleran terhadap penerapan pajaknya, namun Kanada tetap menyertakan PPN untuk produk makanan manis, bersoda, beralkohol, dan camilan ringan.

 

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah dilansir MNC Portal Indonesia menuturkan, reformasi perpajakan merupakan amanah yang harus dilakukan pemerintah dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Itu baru rencana yang penerapannya bukan sekarang, bukan di tengah pandemi. Pemerintah hendaknya melakukan perubahan menunggu waktu yang tepat, yakni ketika perekonomian sudah benar-benar pulih,” ujar Piter.

 

“Pemerintah merencanakan mengubah tarif PPN tidak lagi tunggal sama untuk semua, tapi berbeda-beda. Misalnya, barang-barang kebutuhan pokok dikenakan PPN minimal, sementara barang-barang mewah dikenakan maksimal,” kata dia.

 

Baca Juga : Pajak Orang Kaya Naik Jadi 35%, Sudah Tepat?

 

Jika mengacu pada RUU KUP, skema tarif rendah 5% dapat dikatakan disiapkan untuk barang kebutuhan pokok. Misalnya dapat diilustrasikan beras premium yang banyak dikonsumsi kelompok menengah atas dapat dikenai PPN normal, sementara untuk beras yang dikonsumsi masyarakat banyak dapat dikenakan tarif rendah PPN sebesar 5%, atau bahkan dengan skema PPN final 1%.


< All Blog

Butuh bantuan?

Berbagai Jasa Profesional Pajak, Akuntansi, Audit, dan Keuangan dari Ahli yang Berpengalaman di Konsultanku.

Lihat Solusi